Halaman

29 November 2020

Resep Fuyunghai B2 simple

Sumber: https://anekaresepbabi.web.app/1153-resep-fuyunghai-b2-simple-sempurna/

Resep Fuyunghai B2 simple

Sekarang ini Fuyunghai merupakan makanan khas cina yang cukup digemari di Indonesia. Meskipun banyak dijual di restoran Tionghoa, namun makanan ini bisa juga dibuat sendiri di rumah. Hide content and notifications from this user. Click to copy and paste symbol.

Berikut ini cara untuk membuat hidangannya.

Bahan-bahan dan bumbu yang diperlukan untuk menyiapkan Fuyunghai B2 simple:

Siapkan Daging B2 secukup nya (cincang)
Siapkan Udang secukup nya (cincang)
Ambil Kol (cincang)
Gunakan Wortel (cincang)
Ambil Bawang bombay (cincang)
Gunakan Daun bawang (cincang)
Gunakan 2 sdm Sagu
Gunakan 3 butir Telor
Siapkan Garam, mecin, kecap asin secukup nya

Ambil Bahan saos*
Sediakan Saos tomat
Gunakan Garam, mecin, gula, saos inggris, kecap
Sediakan Air secukup nya
Sediakan 1 sdt Sagu

Cara membuat Fuyunghai B2 simple:

Campur semua bahan kecuali bahan saos.

Panaskan minyak, goreng dengan api kecil. Sambil di tusuk2 dg garpu.

Balik dan tusuk2, agar mateng smpai ke dlm. Lalu angkat

Untuk saos, campur semua bahan kecuali sagu. Masak sampai mendidih


26 November 2020

Perbincangan Imajiner: Jangan Maksa, Pilpres Bukan Pilih Ketua Adat

Perbincangan Imajiner: Jangan Maksa, Pilpres Bukan Pilih Ketua Adat


"Kita kan bukan mau pilih Ketua Adat, Ketua Suku atau Ketua Agama. Bukan parpol, tapi nekannya lebihi partai. Itu namanya maksa nyisipkan orangnya jadi Cawapres. Maksa nanam saham"

Penulis: Martua P Butarbutar

Pagi ini, saya bangun agak telat dari biasanya. Maklum, tadi malam saya banyak minum kopi. Seperti kebanyakan manusia lainnya dijaman modern ini, langsung lihat ponselnya. Tak mau ketinggalan, saya kemudian mengecek ponsel-ponsel saya. Didua ponsel berbeda, saya lihat ada miscal. Satu persatu saya cek. Ternyata telepon dari Bowo.

Saya langsung telepon Bowo. Seperti biasa, saya dan Bowo basa-basi tanya kabar pagi itu. Lantas saya tanya, perihal miscal di ponselku dari nomor dia. Bowo kemudian membenarkan. 

Diawal bicara, Bowo ngaku awal dulu, ingin terima tawaran dari Kowi, untuk jadi Cawapresnya. "Tapi orang belakang tak mau. Partai sebelah juga tak setuju. Pakai ngancam. Macam kuat aja modal partainya. Gondok juga kadang, tapi gimana lah kan," katanya mengawali perbincangan.

Dia mengaku sekarang agak sedikit galau soal calon Wapresnya. Dirinya tidak ingin calon yang disodorkan Pekaes dan kelompok demonstran. Dia beralasan, akan memperkecil ruang dukungan dari kelompok nasionalis. Selain itu, diakui kalau pasangan dengan calon dari Pekaes, kalau terpilih, nanti sulit saat menjalankan roda pemerintahan.

"Wapres itu, tak bisa terlalu dominan diatur partai. Biar tak tersendat nanti. Calon juga tak boleh hanya diterima satu kelompok. Ngarap ormas pendukungku ini juga jangan terlalu nekan. Kita kan bukan mau pilih Ketua Adat, Ketua Suku atau Ketua Agama. Jangan karena dia pasanganku, ada elemen merasa terancam. Klo Ormas dukung, jangan nekan atau maksakan orangnya. Itu namanya maksa nyisipkan orangnya jadi Cawapres. Tak murni dukung saya Capres. Maksa nanam saham," ujar Bowo panjang lebar.

Diakuinya, calon pendampingnya ada beberapa orang. Tapi tentu yang akan dipilihnya yang bisa mengayomi semua suku, agama dan ras."Saya ini secara hati lebih condong, ada satu orang. Tapi enaknya gimana ya. Untuk bilang pilihan ini, agar tidak ribut-ribut diluar sana, saya tidak enak bilang. Mbok pada sadar gitulah, biar tak pusing disini," cerita Bowo.

Mendengar keluhan itu, saya juga sepakat. Saya sarankan, ambil pasangan yang dari kelompok nasionalis religius. Tapi bagusnya jangan yang terlalu ambisius dan banyak wacana. Cepat memutar badan membelakangi teman.

"Istilahnya, ini kalau kalian menang ya. Kalau kalah, tidak soal kan. Kalau terpilih, dia asyik beropini dan memutar argumen, tapi pembangunan stagnan, kan tak ada gunanya. Apa lagi figur yang ada hanya untuk satu kelompok," kataku, yang disambut Bowo sambil bergumam, "iya juga sih".

Tapi saya teruskan lagi, disisi lain, Dekai bisa jadi lebih menjual untuk diterima partai koalisi. Kalau perebutan antar calon partai menguat, pilihan lain ambil yang non partai. Biarpun non partai, Dekai kan lebih dekat ke Bowo sebagai pengusung dulu.

"Tapi Bowo-lah yang menentukan. Aku lebih enak nonton kalian aja," kataku lagi.

Bowo tak menjawab. Dia hanya mengakui awalnya memperkirakan tidak sulit menentukan sikap. Tapi masuknya Sibeye, pertimbangan yang harus diambil, makin bertambah. Apa lagi sodorkan orangnya.

"Belum pernah mengelola yang besar selain kesatuan kecil. Dipartai kan, dia juga bukan penentu, ada bosnya. Ntar jadi bos yang mengendalikan pemerintahan kalau menang," gumam Bowo.

Bowo terlihat mulai kurang semangat melanjutkan perbincangan pagi itu. Dia berkeluh kesah, aku pun kurang tepat menanggapi. Aku menambah keluh kesahnya makin dalam. Cuma, aku pikir biarlah dia menentukan pilihan sendiri.


Tapi sebelum mengakhiri perbincangan pagi itu, saya sempat titip pesan. "Ingatlah, apapun yang kamu putuskan nanti, pertimbangkan banyak hal. Ini pesta demokrasi. Perang-perang visi untuk kemajuan Indonesia. Jadi kalaupun kalah, terhormat dan menang beradab," pesanku.

Kemudian kuingatkan, siapapun nanti, pikirkan bahwa Indonesia ini beragam suku dan agama. "Wapresmu harus berdiri ditengah dan ada untuk semua masyarakat. Itu bedanya Pilpres dan pemilihan Ketua Ormas Keagamaan. Kita harus bergerak maju dan tidak mundur," tekanku.

Pagi itu, pembicaraan kami berakhir tanpa kesimpulan, kecuali cuma sekedar berkeluhkesah. Tapi setidaknya, ponsel pagi itu sudah berdering dan terangkat. Setelah dia ijin mau mandi, saya pun tutup telepon, karena saya juga mau mandi.***

Cecunguk, Cintailah Bu Tiwi Lebih dari Paman Sam


Cecunguk, Cintailah Bu Tiwi Lebih dari Paman Sam

=MARTUA P BUTARBUTAR=

"Jangan biarkan gelar keilmuan mu dirusak oleh sentimen dan ambisimu".

ARA, berhentilah bertingkah seperti politisi jalanan. Kamu seharusnya politisi berbobot jika dilihat latar belakangmu. Seharusnya AR menjadi pembina untuk teman-temanmu seperti FAN dan FAN. Tapi kenapa kamu tidak lebih baik dari FAH dan FAN? Dari satu sisi, kamu seperti tukang nyinyir. Tapi dari sisi lain, kamu penjilat.

Kamu bertiga atau lebih dari tiga orang sebenarnya kalian, sudah seperti politisi jalanan. Teriak-teriak tanpa solusi. Teriak-teriak, seperti tidak punya panggung terhormat.

Pada hal, diantara kamu, malah memiliki panggung yang terhormat untuk memainkan peran. Baik sebagai oposisi atau yang lain. Mungkin dengan bangga dan menepuk dada kamu menyatakan kamu berhasil mengacaukan opini. Tapi kamu lupa, seharusnya kamu lebih terhormat dari seorang politisi jalanan.

Buat tukang nyinyir dari gedung megah milik rakyat di Senayan, kamu punya tempat untuk menentukan kebijakan pemerintah sambil duduk diatas kursi empuk, yang dibeli dengan keringat rakyat. Tapi keringat rakyat itu seperti tidak berharga.

Kamu lebih suka menjalankan peran sebagai politisi jalanan yang teriak-teriak. Pada hal, kamu bisa menentukan, atau setidaknya mempengaruhi kebijakan dan program yang berjalan tiap tahun.

Kalau kamu kalah dalam setiap proses pengambilan keputusan di senayan, seharusnya kamu tahu menempatkan diri. Tahu bagaimana menjalankan fungsimu pasca kekalahan itu. Dan kamu harusnya tahu memperkuat barisan untuk mengubah peta di senayan, hingga kamu bisa menentukan aras kebijakan pembangunan menjadi lebih baik.

Orientasimu dan gerombolan sejenismu, baik didalam dan diluar, harusnya pada orientasi Indonesia Jaya. Kekuatanmu dan orientasimu harus positif, sehingga berhadap-hadapan dengan pemerintah atau penguasa, tetap positif. Artinya, opisisi itu hadir dengan orientasi yang positif.

Sehingga ke depan, pendidikan politik yang kamu berikan, berdampak positif ke masyarakat. Biasakanlah memberikan kritikan dengan solusi atau perbandingan. Sehingga yang lain tahu, apa yang kamu katakan lebih benar.  Juga agar yang lain tahu, kamu melontarkan bualan sekalipun, kamu tahu apa solusi versimu.

Jika harus bercermin seperti kalian, bukan hal yang sulit bagi masyarakat modern saat ini. Menjadi tukang nyinyir, hanya dengan modal medsos, tentu tidak sulit. Tapi untuk lebih baik dari tukang nyinyir, tentu butuh kematangan berfikir, berargumen dan bersikap/bertindak.

Jika orientasimu asal bukan itu, maka lakukanlah dengan cara elegan. Berpolitik dengan lebih baik, sehingga saat ajal menjemputmu, kematianmu juga tidak dinyinyir orang banyak pada suatu saat. Menang secara jantan dan kalah secara terhormat itu, menjadi penting, agar namamu dihargai dan bukan dinyinyir suatu saat. Sehingga anak-cucumu suatu saat, bangga atas kehadiranmu dipanggung politik.

Ingatlah, kamu hadir sebagai warga negara Indonesia, yang makan dari masyarakat Indonesia. Kecuali, kamu merasa bahwa Paman Sam yang kasih makan, sehingga kamu harus tunduk pada paman itu. Walau Paman Sam baik bagimu, tapi tidak ada artinya dibanding ibumu pertiwi. Jangan terlalu sering menghadap Paman Sam, jika tidak ingin kebebasanmu dirantai. Hanya Ibu Pertiwi yang memberikan kebebasan seutuhnya untuk mu dan saudara/i mu.

Jika merasa oposisi, jadilah oposisi yang berkarakter, berharga dan beretika tanpa tante Sara. Jadi oposisi untuk memperkuat sistem kontrol dan bukan merusak sistem kontrol dalam sistem demokrasi. Dalam pendidikan politik, oposisi memberikan pendidikan kepada masyarakat dalam melihat masalah. Ada penjelasan yang logis. Bukan nyiyir atau omong kosong.

Logika yang dimainkan harus ada, tidak hanya lempar isu atau pernyataan yang tidak jelas. Situasi yang tidak baik dari proses politik yang dilakukan politisi, sedikit banyak akan memperngaruhi masyarakat.

Terlebih dengan kehadiran media sosial yang dengan cepat membantu penyebaran. Sehingga kedepan, siapapun pemimpin Indonesia, perjalanannya akan diiringi Nyinyir. Akhirnya, pendidikan politik menjadi negatif.

Ini terjadi, karena beberapa elite politik memiliki kemampuan dialogis dan logika yang minim. Mereka hanya mampu memainkan sentimen di masyarakat. Tetap, menjadikan masyarakat hanya objek yang dimainkan dari opini tak mendidik.

Politisi itu harus bisa meletakkan tatanan demokrasi dengan baik. Bisa mendorong elemen politik dengan baik melalui pembelajaran politik. Jangan pertontonkan kemampuan otak yang sangat terbatas tanpa solusi. Jangan menjadi politi oportunis, karena itu akan merusak tatanan demokrasi.


Kondisi ini jika terus berlangsung, akan mempengaruhi masyarakat politik. Hingga melahirkan masyarakat politik yang hanya berfikir pragmatis dan bertindak oportunis. Ketika kamu diluar lingkaran, maka kamu akan cenderung memperkeruh suasana.

Namun saat kamu didalam lingkaran, kamu hanya akan menjadi tukang jilat. Walau mungkin tak selamanya jadi tukang jilat, namun kamu akan diposisi berbeda jika kepentinganmu tidak terakomodir. Sehingga kamu politisi yang tidak bisa dipercaya, jika tidak jadi pecundang.

Tidak tahu apakah Paman ikut serta dalam skenario ini. Namun mbak Sara, seperti gorengan yang terbiasa, tidak hanya ditengah masyarakat awam, namun elite juga. Isu agama, menjadi mainan beberapa elite politik. Bahkan mereka terkesan, yang menyiapkan bahannya dan digoreng dimedia sosial.

Dampaknya, pengguna medsos seperti terbiasa dengan isu agama yang dimainkan sebagai alat politik. Agama dimainkan untuk menggerus kekuasaan dalam upaya mengambil kekuasaan.


Bolehkah 'menggoreng' agama dan suku (rasis) untuk tujuan politik? Bagi penjaga dan penganut pragmatisme, tentu sah-sah saja. Namun bagi seorang politisi berlatar belakang akademisi, apa lagi sudah menyelesaikan studi bidang politik hingga doktor dan dianugerahi profesor, tentu menjadi sedikit janggal.

Menjadi janggal ketika keilmuan dibidang politik menjadi pertanyaan, ketika objektifitas dan kerangka politik dalam sistem demokrasi tidak bisa dijaga. Bagi negara dengan sistem demokrasi, oposisi merupakan satu hal yang biasa. Tapi pergerakan oposisi dan komitmen atas demokrasi menjadi penting diperhatikan. Oposisi itu merupakan elemen dalam kerangka demokrasi, yang sifatnya memperkuat dan bukan merusak.

Buat saya, setidaknya ditengah perilaku politik beberapa oknum di ibukota yang suka nyinyir, masih banyak politisi dan pengamat politik, mengambil langkah berbeda. Tapi banyak juga yang diam, atas perilaku politisi. Namun, setidaknya tidak ikut memperkuat dengan membenarkan tingkah politisi tukang nyinyir itu.***

Brutus-Brutus Kekinian

Brutus-Brutus Kekinian

Markus Yuniud Brutus

=Oleh: Martua P Butarbutar=

Brutus merupakan, pria bernama Marcus Junius Brutus Caepio (85 SM – 42 SM). Brutus menjadi simbol penghianatan. Dia merupakan Senat Rom pada akhir Republik Romdan dan menjadi salah seorang pembunuh Julius Caesar. Brutus menjadi simbol penghianatan, karena ‎sejarah eksistensinya. Brutus orang yang paling disayang Kaisar. Kaisar menjadi simbol negara saat itu.
Brutus kekinian, menjadi simbol penghiantan terhadap cita-cita Indonesia. Tapi sistem dan teknologi melahirkan generasi dan memberikan mereka tempat serta fasilitas. Tapi banyak yang menghianati cita-cita perjuangan Indonesia.‎ Menghianati ke-Indonesia-an. Mengianati tanggungjawab dipundaknya. ‎

Saat ini, banyak mencari makan dengan memperkeruh suasana. Mencari populer walau tahu akan memicu perdebatan. ‎Karena dia menginginkan perdebatan itu untuk memperkuat diri dan kelompoknya. Memberikan tekanan psikologis tanpa memberikan solusi.

Termaksud oknum politisi di dalam dan diluar senayan, yang terkesan 'goblok' karena tahu hanya memancing pengguna medsos. Tapi sebenarnya mereka pintar, setidaknya pintar 'ngotaki'. Mereka hanya ingin agar kebun itu dilihat kering, gersang dan tanpa harapan.

Tapi disisi lain, memberikan gambaran, obsesis dan orientasi diri dan kelompoknya hanya untuk satu target, menguasai panggung dan kursi dipanggung. Brutus millenia tidak harus masuk dalam pemerintah‎.

Saya tidak bicara brutus itu legislator, eksekutif, tokoh, yang menganggap diri tokoh, memaksa jadi tokoh, mantan tokoh hingga mereka diperalat tokoh. Namun apapun itu, brutus-brutus ini berbahaya ketika kita ingin menjaga kehidupan politik demokrasi yang sehat.‎
Kalau komitmen tokoh hingga partai untuk bang‎sa, maka menilai proses harus objektif. Sehingga langkah setiap tokoh dan partai harus dinilai objektif. Seharusnya, orientasi tokoh atau partai harus pada cita-cita bangsa dan negara. Bukan orientasi pada jabatan atau kekuasaan. Orientasi partai juga bukan pada jabatan.
Sehingga dalam proses demokrasi, harus objektif menilai. Kritik bukan menjatuhkan, sehingga tidak menjadi obsesi. Kritik dan masukan itu punya nilai berbeda‎ dengan tendesius.
Di negara demokrasi yang memiliki oposisi sekalipun, kontrol terhadap pemerintah, dijalankan dengan orientasi kebaikan. Sehingga saat ada kebijakan baik, didukung. Demikian, jika ada kebijakan salah, tidak dibela pendukung, tapi dikitisi.
Dengan demikian, dalam dinamika demokrasi, kualitas ketokohan seseorang itu terlihat. Termaksud merasa sebagai tokoh oposisi atau tokoh pendukung. Ketokohan dari cara berfikir dan berpendapat.
Jika partai dan tokoh ‎yang berserbarangan selalu melihat dan melempar opini yang tidak objektif. Selalu bicara salah dan benar, dari sudut pandang kepentingannya pribadi atau kelompok. Seakan, tidak ada kebutuhan. Gambaran orientasi pribadimu, kelompokmu atau partai mu bisa dipahami dari yang berjalan selama ini.

Terkadang muncul tokoh publik yang tidak mampu memikul ketokohan yang disematkan. Mungkin karena ketokohannya muncul dari gerakan obsesi dan menompang didalam perjuangan elemen lain. Ketidakmampuannya menimbulkan dia mengambil peran untuk memperkeruh, karena dari sana dia mencoba mencari untung.

Jika orientasimu hanya kekuasaan dan kepentingan pribadimu yang tidak terakomodir, maka sampai kapanpun, kamu akan menjadi brutus baru dinegara ini. Kamu-kamu hanya jadi duri dalam dalam proses pembangunan bangsa.
Selama itu masih terpelihara, itu akan menggerus‎ kekuatan suatu bangsa.‎ Kecuali disenyapkan atau dipinggirkan dari bagian elemen demokrasi. Komitmen elemen, tokoh, partai harus komitmen untuk bangsa. Tanpa itu, siapapun memimpin Indonesia akan begerak mundur.‎ Lontaran batumu harus menambah batu yang memperkuat tiang, bukan merubuhkan tiang-tiang yang dibangun.

Jika ingin belajar cara bertarung yang elegan, simpatik, sportif, belajar lah dari banyak klub sepak bola mancanegara. Jangan belajar dari beberapa klub sepak bola Indonesia.‎ Setidaknya, sampai saat ini demikian.***

Salam Tolak Brutus Kini

Endemik Politisi Tanpa (Beban) Moral

Endemik Politisi Tanpa (Beban) Moral

---Penulis: Martua P Butarbutar---

Menghabiskan waktu malam, mendengar lagu-lagu di youtube. Sambil menikmati alunan lagu daerah se-Indonesia, khususnya yang menarik, dengan subscriber banyak, saya baca komentar-komentar penikmat musik.

Tidak sedikit dan boleh bisa dibilang, banyak yang bicara persatuan. Bicara penghargaan suku, budaya hingga agama dalam bungkus ke-Indonesia. Hingga saya pada satu titik tertentu mengatakan, dibalik gesekan politik yang kental membawa isu SARA, ada penghargaan terhadap perbedaan di ke-Indonesia-an kita.

Pertanyaan yang muncul, apakah alunan lagu dan musik yang merdu yang bisa mempersatukan? Tentunya, bukan. Alunan musik dan syair lagu itu yang diakui banyak penikmat musik daerah di youtube, tidak mereka pahami, tapi enak didengar. Kemudian mereka bicara, indahnya Indonesia yang beragam suku dan budaya.

Itu bisa muncul, karena mereka tidak bicara soal apa yang membedakan suku dan budaya mereka sebagai penikmat musik. Namun apa yang mereka dengar dan rasakan, membuat hatinya senang dan tenang. Alunan musik dan lagu yang mempersatukan rasa mereka.

Itu muncul karena dalam rasa yang mereka nikmati, tidak dibungkus sentimen suku, agama dan budaya yang berbeda. Jika sentimen itu dibuat untuk membungkus, akan memunculkan sentimen dan gengsi didepan nuraninya.

Kondisi yang berbeda mudah ditemukan saat media sosial dengan bidang berbeda menjadi topik yang dimunculkan. Terutama dibidang politik. Riak percikan kebencian seakan menjadi warna politik kita. Ada banyak hoax dan sentimen yang mengemuka. Seakan bungkus ke-Indonesia-an dalam pribadi mereka terkelupas.

Perbedaan dalam politik itu lumrah dan mungkin bisa dibilang kodrat. Sebagaimana dalam musik daerah berbeda sesai asalnya, namun apa yang muncul belakangan ini, tidak mencerminkan perjuangan membentuk Indonesia.  

Memberikan kesan, ada yang mencoba mempertebal atau menguatkan sentimen. Harusnya jangan terlena dan terbiasa menikmati posisi diri sebagai politisi brengsek. Kondisi itu akan membawa dirimu pada kejatuhan yang dalam, pada saatnya.

Dinamika politik di medsos, yang berlangsung, setidaknya dalam dua tahun belakangan ini, seperti menggambarkan, politik itu negatif. Ini jika terus berlangsung, akan membuat kondisi sulit dengan sikap apatis terhadap politik.

Jika zaman dulu, orang yang didorong, dibentuk atau terbentuk menjadi tokoh politik mencoba mengemas pergerakan dengan bungkus persatuan. Tidak demikian dengan saat ini.

Bahkan terkesan saat ini, menyampaikan kebohongan sambil nyinyir, seperti sudah biasa. Menjadi kekhawatiran, kedepan hal seperti ini akan lumrah dalam proses politik kedepan. Bermain dalam sentimen agama dan suku saat ini seperti sudah biasa.

Kondisi ini seperti membuat perilaku politisi yang berjalan, seperti endemik. Endemisme politik, dengan perilaku politisi yang terkesan tanpa tanggungjawab moral membangun. Perilaku politisi sepeti tidak memiliki beban untuk masa depan.

Kondisi ini, sadar atau tidak, seperti gelombang dan ombak tinggi, yang jika tidak diatasi, bisa menghempaskan daratan yang dibangun. Kebebasan yang berjalan dalam alam demokrasi dengan didukung kemajuan teknologi saat ini, seperti memperlihatkan banyak politisi yang perlu belajar menjaga ke-Indonesia-an kita.

Banyak politisi harus belajar kepada tokoh agama atau alim ulama yang sesungguhnya. Memperbanyak membaca buku sejarah terbentuk dan perjuangan, tidak hanya pra Indonesia merdeka, namun juga pasca merdeka.

Memahami, bagaimana saat perbedaan pandangan bisa dijadikan sebagai proses pendewasaan politik. Perbedaan pandangan dan pendapat, berorientasi pada upaya mencari hal terbaik. Kondisi yang berbeda terjadi dengan saat ini.

Orientasi kekuasaan yang kuat, dibangun dengan mempertebal sentimen di masyarakat. Sehingga, upaya apapun termaksud seperti membiasakan mengeluarkan pernyataan, untuk mempertebal sentimen terus dilakukan oknum politisi.

Ketika muncul di medsos dan di televisi atau media massa, walau lontaran pernyataan itu terkesan tidak mendewasakan masyarakat di politik, tetap dibanggakan. Protes hingga makian sebagai gambaran ketidaksetujuan hingga gambaran kebencian yang diperlihatkan penggunaan medsos terhadap dirinya, seperti memicu semangatnya.

Protes dan kebencian yang ditumpahkan pengguna medsos atas dirinya, seperti bumbu pemanis meraih ketenaran dengan cara negatif. Seakan memberikan gambaran, dalam politik itu, yang penting tenar. Soal cara meraihnya, seperti tidak punya beban dan rasa bersalah.

Tidak merasa bersalah dan tidak punya tanggungjawab moral, menjadi penyumbang untuk merusak cara berfikir sebagian masyarakat. Seakan, kepentingan menjadi ujung tombak dan tidak ada beban moral dalam proses politik yang berjalan.

Penting disadari, kedewasaan berpolitik tidak sekedar menerima hasil, kalah atau menang. Namun kedewasaan berpolitik, lebih pada bagaimana menjalani proses politik. Pimpinan politik di lembaga politik harus menyadari ini dengan langkah yang tepat menyikapi.

Sehingga, cara berfikir orang atau kadernya, yang mempengaruhi cara berfikir masyarakat, tidak berdampak negatif. Sehingga demokrasi kita tidak mundur, namun maju.

Sadarilah, lembaga politik hadir bukan hanya untuk bicara kalah dan menang. Namun bagaimana memainkan peran dalam proses politik itu, dalam membangun kader politik yang matang dari pemikiran dan tindakan, dengan orientasi, membangun bangsa.

Parpol membangun pondasi hingga dinding politik Indonesia kuat, sehingga kesatuan bangsa tidak tercerai berai. Parpol harus berani mengeluarkan dari rel, mereka yang menabur dan memupuk bibit ancaman bagi keutuhan bangsa.

Jangan biarkan anak-anak muda kedepan menjadi APOLITIS karena perilaku politik elite saat ini. Jangan berikan gambaran politik itu, negatif dan ancaman. Namun tunjukkan jika politik itu menjadi salah satu cara untuk mendukung pembangunan KARAKTER bangsa.

Media massa juga seharusnya memiliki kebijakan untuk menyaring narasumber. Tidak seharusnya memberikan tempat bagi narasumber yang tidak mencerminkan komitmen dalam membangun dinamika politik pada arah positif. Politisi kacangan jangan dipaksa dikemas untuk mentega. Jangan biarkan gangguan mental politisi merusak arti demokrasi politik Indonesia. Biarkan nurani kita menggiring langkah kita, mewujudkan Indonesia Raya yang sejahtera, dinamis dan maju.***