29 November 2020
Resep Fuyunghai B2 simple
26 November 2020
Perbincangan Imajiner: Jangan Maksa, Pilpres Bukan Pilih Ketua Adat
Perbincangan Imajiner: Jangan Maksa, Pilpres Bukan Pilih Ketua Adat
"Kita kan bukan mau pilih Ketua Adat, Ketua Suku atau Ketua Agama. Bukan parpol, tapi nekannya lebihi partai. Itu namanya maksa nyisipkan orangnya jadi Cawapres. Maksa nanam saham"
Penulis: Martua P Butarbutar
Pagi ini, saya bangun agak telat dari biasanya. Maklum, tadi malam saya banyak minum kopi. Seperti kebanyakan manusia lainnya dijaman modern ini, langsung lihat ponselnya. Tak mau ketinggalan, saya kemudian mengecek ponsel-ponsel saya. Didua ponsel berbeda, saya lihat ada miscal. Satu persatu saya cek. Ternyata telepon dari Bowo.
Saya langsung telepon Bowo. Seperti biasa, saya dan Bowo basa-basi tanya kabar pagi itu. Lantas saya tanya, perihal miscal di ponselku dari nomor dia. Bowo kemudian membenarkan.
Diawal bicara, Bowo ngaku awal dulu, ingin terima tawaran dari Kowi, untuk jadi Cawapresnya. "Tapi orang belakang tak mau. Partai sebelah juga tak setuju. Pakai ngancam. Macam kuat aja modal partainya. Gondok juga kadang, tapi gimana lah kan," katanya mengawali perbincangan.
Dia mengaku sekarang agak sedikit galau soal calon Wapresnya. Dirinya tidak ingin calon yang disodorkan Pekaes dan kelompok demonstran. Dia beralasan, akan memperkecil ruang dukungan dari kelompok nasionalis. Selain itu, diakui kalau pasangan dengan calon dari Pekaes, kalau terpilih, nanti sulit saat menjalankan roda pemerintahan.
"Wapres itu, tak bisa terlalu dominan diatur partai. Biar tak tersendat nanti. Calon juga tak boleh hanya diterima satu kelompok. Ngarap ormas pendukungku ini juga jangan terlalu nekan. Kita kan bukan mau pilih Ketua Adat, Ketua Suku atau Ketua Agama. Jangan karena dia pasanganku, ada elemen merasa terancam. Klo Ormas dukung, jangan nekan atau maksakan orangnya. Itu namanya maksa nyisipkan orangnya jadi Cawapres. Tak murni dukung saya Capres. Maksa nanam saham," ujar Bowo panjang lebar.
Diakuinya, calon pendampingnya ada beberapa orang. Tapi tentu yang akan dipilihnya yang bisa mengayomi semua suku, agama dan ras."Saya ini secara hati lebih condong, ada satu orang. Tapi enaknya gimana ya. Untuk bilang pilihan ini, agar tidak ribut-ribut diluar sana, saya tidak enak bilang. Mbok pada sadar gitulah, biar tak pusing disini," cerita Bowo.
Mendengar keluhan itu, saya juga sepakat. Saya sarankan, ambil pasangan yang dari kelompok nasionalis religius. Tapi bagusnya jangan yang terlalu ambisius dan banyak wacana. Cepat memutar badan membelakangi teman.
"Istilahnya, ini kalau kalian menang ya. Kalau kalah, tidak soal kan. Kalau terpilih, dia asyik beropini dan memutar argumen, tapi pembangunan stagnan, kan tak ada gunanya. Apa lagi figur yang ada hanya untuk satu kelompok," kataku, yang disambut Bowo sambil bergumam, "iya juga sih".
Tapi saya teruskan lagi, disisi lain, Dekai bisa jadi lebih menjual untuk diterima partai koalisi. Kalau perebutan antar calon partai menguat, pilihan lain ambil yang non partai. Biarpun non partai, Dekai kan lebih dekat ke Bowo sebagai pengusung dulu.
"Tapi Bowo-lah yang menentukan. Aku lebih enak nonton kalian aja," kataku lagi.
Bowo tak menjawab. Dia hanya mengakui awalnya memperkirakan tidak sulit menentukan sikap. Tapi masuknya Sibeye, pertimbangan yang harus diambil, makin bertambah. Apa lagi sodorkan orangnya.
"Belum pernah mengelola yang besar selain kesatuan kecil. Dipartai kan, dia juga bukan penentu, ada bosnya. Ntar jadi bos yang mengendalikan pemerintahan kalau menang," gumam Bowo.
Bowo terlihat mulai kurang semangat melanjutkan perbincangan pagi itu. Dia berkeluh kesah, aku pun kurang tepat menanggapi. Aku menambah keluh kesahnya makin dalam. Cuma, aku pikir biarlah dia menentukan pilihan sendiri.
Tapi sebelum mengakhiri perbincangan pagi itu, saya sempat titip pesan. "Ingatlah, apapun yang kamu putuskan nanti, pertimbangkan banyak hal. Ini pesta demokrasi. Perang-perang visi untuk kemajuan Indonesia. Jadi kalaupun kalah, terhormat dan menang beradab," pesanku.
Kemudian kuingatkan, siapapun nanti, pikirkan bahwa Indonesia ini beragam suku dan agama. "Wapresmu harus berdiri ditengah dan ada untuk semua masyarakat. Itu bedanya Pilpres dan pemilihan Ketua Ormas Keagamaan. Kita harus bergerak maju dan tidak mundur," tekanku.
Pagi itu, pembicaraan kami berakhir tanpa kesimpulan, kecuali cuma sekedar berkeluhkesah. Tapi setidaknya, ponsel pagi itu sudah berdering dan terangkat. Setelah dia ijin mau mandi, saya pun tutup telepon, karena saya juga mau mandi.***
Cecunguk, Cintailah Bu Tiwi Lebih dari Paman Sam
Cecunguk, Cintailah Bu Tiwi Lebih dari Paman Sam
=MARTUA P BUTARBUTAR=
"Jangan biarkan gelar keilmuan mu dirusak oleh sentimen dan ambisimu".
ARA, berhentilah bertingkah seperti politisi jalanan. Kamu seharusnya politisi berbobot jika dilihat latar belakangmu. Seharusnya AR menjadi pembina untuk teman-temanmu seperti FAN dan FAN. Tapi kenapa kamu tidak lebih baik dari FAH dan FAN? Dari satu sisi, kamu seperti tukang nyinyir. Tapi dari sisi lain, kamu penjilat.
Kamu bertiga atau lebih dari tiga orang sebenarnya kalian, sudah seperti politisi jalanan. Teriak-teriak tanpa solusi. Teriak-teriak, seperti tidak punya panggung terhormat.
Pada hal, diantara kamu, malah memiliki panggung yang terhormat untuk memainkan peran. Baik sebagai oposisi atau yang lain. Mungkin dengan bangga dan menepuk dada kamu menyatakan kamu berhasil mengacaukan opini. Tapi kamu lupa, seharusnya kamu lebih terhormat dari seorang politisi jalanan.
Buat tukang nyinyir dari gedung megah milik rakyat di Senayan, kamu punya tempat untuk menentukan kebijakan pemerintah sambil duduk diatas kursi empuk, yang dibeli dengan keringat rakyat. Tapi keringat rakyat itu seperti tidak berharga.
Kamu lebih suka menjalankan peran sebagai politisi jalanan yang teriak-teriak. Pada hal, kamu bisa menentukan, atau setidaknya mempengaruhi kebijakan dan program yang berjalan tiap tahun.
Kalau kamu kalah dalam setiap proses pengambilan keputusan di senayan, seharusnya kamu tahu menempatkan diri. Tahu bagaimana menjalankan fungsimu pasca kekalahan itu. Dan kamu harusnya tahu memperkuat barisan untuk mengubah peta di senayan, hingga kamu bisa menentukan aras kebijakan pembangunan menjadi lebih baik.
Orientasimu dan gerombolan sejenismu, baik didalam dan diluar, harusnya pada orientasi Indonesia Jaya. Kekuatanmu dan orientasimu harus positif, sehingga berhadap-hadapan dengan pemerintah atau penguasa, tetap positif. Artinya, opisisi itu hadir dengan orientasi yang positif.
Sehingga ke depan, pendidikan politik yang kamu berikan, berdampak positif ke masyarakat. Biasakanlah memberikan kritikan dengan solusi atau perbandingan. Sehingga yang lain tahu, apa yang kamu katakan lebih benar. Juga agar yang lain tahu, kamu melontarkan bualan sekalipun, kamu tahu apa solusi versimu.
Jika harus bercermin seperti kalian, bukan hal yang sulit bagi masyarakat modern saat ini. Menjadi tukang nyinyir, hanya dengan modal medsos, tentu tidak sulit. Tapi untuk lebih baik dari tukang nyinyir, tentu butuh kematangan berfikir, berargumen dan bersikap/bertindak.
Jika orientasimu asal bukan itu, maka lakukanlah dengan cara elegan. Berpolitik dengan lebih baik, sehingga saat ajal menjemputmu, kematianmu juga tidak dinyinyir orang banyak pada suatu saat. Menang secara jantan dan kalah secara terhormat itu, menjadi penting, agar namamu dihargai dan bukan dinyinyir suatu saat. Sehingga anak-cucumu suatu saat, bangga atas kehadiranmu dipanggung politik.
Ingatlah, kamu hadir sebagai warga negara Indonesia, yang makan dari masyarakat Indonesia. Kecuali, kamu merasa bahwa Paman Sam yang kasih makan, sehingga kamu harus tunduk pada paman itu. Walau Paman Sam baik bagimu, tapi tidak ada artinya dibanding ibumu pertiwi. Jangan terlalu sering menghadap Paman Sam, jika tidak ingin kebebasanmu dirantai. Hanya Ibu Pertiwi yang memberikan kebebasan seutuhnya untuk mu dan saudara/i mu.
Jika merasa oposisi, jadilah oposisi yang berkarakter, berharga dan beretika tanpa tante Sara. Jadi oposisi untuk memperkuat sistem kontrol dan bukan merusak sistem kontrol dalam sistem demokrasi. Dalam pendidikan politik, oposisi memberikan pendidikan kepada masyarakat dalam melihat masalah. Ada penjelasan yang logis. Bukan nyiyir atau omong kosong.
Logika yang dimainkan harus ada, tidak hanya lempar isu atau pernyataan yang tidak jelas. Situasi yang tidak baik dari proses politik yang dilakukan politisi, sedikit banyak akan memperngaruhi masyarakat.
Terlebih dengan kehadiran media sosial yang dengan cepat membantu penyebaran. Sehingga kedepan, siapapun pemimpin Indonesia, perjalanannya akan diiringi Nyinyir. Akhirnya, pendidikan politik menjadi negatif.
Ini terjadi, karena beberapa elite politik memiliki kemampuan dialogis dan logika yang minim. Mereka hanya mampu memainkan sentimen di masyarakat. Tetap, menjadikan masyarakat hanya objek yang dimainkan dari opini tak mendidik.
Politisi itu harus bisa meletakkan tatanan demokrasi dengan baik. Bisa mendorong elemen politik dengan baik melalui pembelajaran politik. Jangan pertontonkan kemampuan otak yang sangat terbatas tanpa solusi. Jangan menjadi politi oportunis, karena itu akan merusak tatanan demokrasi.
Kondisi ini jika terus berlangsung, akan mempengaruhi masyarakat politik. Hingga melahirkan masyarakat politik yang hanya berfikir pragmatis dan bertindak oportunis. Ketika kamu diluar lingkaran, maka kamu akan cenderung memperkeruh suasana.
Namun saat kamu didalam lingkaran, kamu hanya akan menjadi tukang jilat. Walau mungkin tak selamanya jadi tukang jilat, namun kamu akan diposisi berbeda jika kepentinganmu tidak terakomodir. Sehingga kamu politisi yang tidak bisa dipercaya, jika tidak jadi pecundang.
Tidak tahu apakah Paman ikut serta dalam skenario ini. Namun mbak Sara, seperti gorengan yang terbiasa, tidak hanya ditengah masyarakat awam, namun elite juga. Isu agama, menjadi mainan beberapa elite politik. Bahkan mereka terkesan, yang menyiapkan bahannya dan digoreng dimedia sosial.
Dampaknya, pengguna medsos seperti terbiasa dengan isu agama yang dimainkan sebagai alat politik. Agama dimainkan untuk menggerus kekuasaan dalam upaya mengambil kekuasaan.
Bolehkah 'menggoreng' agama dan suku (rasis) untuk tujuan politik? Bagi penjaga dan penganut pragmatisme, tentu sah-sah saja. Namun bagi seorang politisi berlatar belakang akademisi, apa lagi sudah menyelesaikan studi bidang politik hingga doktor dan dianugerahi profesor, tentu menjadi sedikit janggal.
Menjadi janggal ketika keilmuan dibidang politik menjadi pertanyaan, ketika objektifitas dan kerangka politik dalam sistem demokrasi tidak bisa dijaga. Bagi negara dengan sistem demokrasi, oposisi merupakan satu hal yang biasa. Tapi pergerakan oposisi dan komitmen atas demokrasi menjadi penting diperhatikan. Oposisi itu merupakan elemen dalam kerangka demokrasi, yang sifatnya memperkuat dan bukan merusak.
Buat saya, setidaknya ditengah perilaku politik beberapa oknum di ibukota yang suka nyinyir, masih banyak politisi dan pengamat politik, mengambil langkah berbeda. Tapi banyak juga yang diam, atas perilaku politisi. Namun, setidaknya tidak ikut memperkuat dengan membenarkan tingkah politisi tukang nyinyir itu.***