Halaman

26 November 2020

Perbincangan Imajiner: Jangan Maksa, Pilpres Bukan Pilih Ketua Adat

Perbincangan Imajiner: Jangan Maksa, Pilpres Bukan Pilih Ketua Adat


"Kita kan bukan mau pilih Ketua Adat, Ketua Suku atau Ketua Agama. Bukan parpol, tapi nekannya lebihi partai. Itu namanya maksa nyisipkan orangnya jadi Cawapres. Maksa nanam saham"

Penulis: Martua P Butarbutar

Pagi ini, saya bangun agak telat dari biasanya. Maklum, tadi malam saya banyak minum kopi. Seperti kebanyakan manusia lainnya dijaman modern ini, langsung lihat ponselnya. Tak mau ketinggalan, saya kemudian mengecek ponsel-ponsel saya. Didua ponsel berbeda, saya lihat ada miscal. Satu persatu saya cek. Ternyata telepon dari Bowo.

Saya langsung telepon Bowo. Seperti biasa, saya dan Bowo basa-basi tanya kabar pagi itu. Lantas saya tanya, perihal miscal di ponselku dari nomor dia. Bowo kemudian membenarkan. 

Diawal bicara, Bowo ngaku awal dulu, ingin terima tawaran dari Kowi, untuk jadi Cawapresnya. "Tapi orang belakang tak mau. Partai sebelah juga tak setuju. Pakai ngancam. Macam kuat aja modal partainya. Gondok juga kadang, tapi gimana lah kan," katanya mengawali perbincangan.

Dia mengaku sekarang agak sedikit galau soal calon Wapresnya. Dirinya tidak ingin calon yang disodorkan Pekaes dan kelompok demonstran. Dia beralasan, akan memperkecil ruang dukungan dari kelompok nasionalis. Selain itu, diakui kalau pasangan dengan calon dari Pekaes, kalau terpilih, nanti sulit saat menjalankan roda pemerintahan.

"Wapres itu, tak bisa terlalu dominan diatur partai. Biar tak tersendat nanti. Calon juga tak boleh hanya diterima satu kelompok. Ngarap ormas pendukungku ini juga jangan terlalu nekan. Kita kan bukan mau pilih Ketua Adat, Ketua Suku atau Ketua Agama. Jangan karena dia pasanganku, ada elemen merasa terancam. Klo Ormas dukung, jangan nekan atau maksakan orangnya. Itu namanya maksa nyisipkan orangnya jadi Cawapres. Tak murni dukung saya Capres. Maksa nanam saham," ujar Bowo panjang lebar.

Diakuinya, calon pendampingnya ada beberapa orang. Tapi tentu yang akan dipilihnya yang bisa mengayomi semua suku, agama dan ras."Saya ini secara hati lebih condong, ada satu orang. Tapi enaknya gimana ya. Untuk bilang pilihan ini, agar tidak ribut-ribut diluar sana, saya tidak enak bilang. Mbok pada sadar gitulah, biar tak pusing disini," cerita Bowo.

Mendengar keluhan itu, saya juga sepakat. Saya sarankan, ambil pasangan yang dari kelompok nasionalis religius. Tapi bagusnya jangan yang terlalu ambisius dan banyak wacana. Cepat memutar badan membelakangi teman.

"Istilahnya, ini kalau kalian menang ya. Kalau kalah, tidak soal kan. Kalau terpilih, dia asyik beropini dan memutar argumen, tapi pembangunan stagnan, kan tak ada gunanya. Apa lagi figur yang ada hanya untuk satu kelompok," kataku, yang disambut Bowo sambil bergumam, "iya juga sih".

Tapi saya teruskan lagi, disisi lain, Dekai bisa jadi lebih menjual untuk diterima partai koalisi. Kalau perebutan antar calon partai menguat, pilihan lain ambil yang non partai. Biarpun non partai, Dekai kan lebih dekat ke Bowo sebagai pengusung dulu.

"Tapi Bowo-lah yang menentukan. Aku lebih enak nonton kalian aja," kataku lagi.

Bowo tak menjawab. Dia hanya mengakui awalnya memperkirakan tidak sulit menentukan sikap. Tapi masuknya Sibeye, pertimbangan yang harus diambil, makin bertambah. Apa lagi sodorkan orangnya.

"Belum pernah mengelola yang besar selain kesatuan kecil. Dipartai kan, dia juga bukan penentu, ada bosnya. Ntar jadi bos yang mengendalikan pemerintahan kalau menang," gumam Bowo.

Bowo terlihat mulai kurang semangat melanjutkan perbincangan pagi itu. Dia berkeluh kesah, aku pun kurang tepat menanggapi. Aku menambah keluh kesahnya makin dalam. Cuma, aku pikir biarlah dia menentukan pilihan sendiri.


Tapi sebelum mengakhiri perbincangan pagi itu, saya sempat titip pesan. "Ingatlah, apapun yang kamu putuskan nanti, pertimbangkan banyak hal. Ini pesta demokrasi. Perang-perang visi untuk kemajuan Indonesia. Jadi kalaupun kalah, terhormat dan menang beradab," pesanku.

Kemudian kuingatkan, siapapun nanti, pikirkan bahwa Indonesia ini beragam suku dan agama. "Wapresmu harus berdiri ditengah dan ada untuk semua masyarakat. Itu bedanya Pilpres dan pemilihan Ketua Ormas Keagamaan. Kita harus bergerak maju dan tidak mundur," tekanku.

Pagi itu, pembicaraan kami berakhir tanpa kesimpulan, kecuali cuma sekedar berkeluhkesah. Tapi setidaknya, ponsel pagi itu sudah berdering dan terangkat. Setelah dia ijin mau mandi, saya pun tutup telepon, karena saya juga mau mandi.***

Tidak ada komentar: