Brutus-Brutus Kekinian
=Oleh: Martua P Butarbutar=
Brutus merupakan, pria bernama Marcus Junius Brutus Caepio (85 SM – 42 SM). Brutus menjadi simbol penghianatan. Dia merupakan Senat Rom pada akhir Republik Romdan dan menjadi salah seorang pembunuh Julius Caesar. Brutus menjadi simbol penghianatan, karena sejarah eksistensinya. Brutus orang yang paling disayang Kaisar. Kaisar menjadi simbol negara saat itu.
Brutus kekinian, menjadi simbol penghiantan terhadap cita-cita Indonesia. Tapi sistem dan teknologi melahirkan generasi dan memberikan mereka tempat serta fasilitas. Tapi banyak yang menghianati cita-cita perjuangan Indonesia. Menghianati ke-Indonesia-an. Mengianati tanggungjawab dipundaknya.
Saat ini, banyak mencari makan dengan memperkeruh suasana. Mencari populer walau tahu akan memicu perdebatan. Karena dia menginginkan perdebatan itu untuk memperkuat diri dan kelompoknya. Memberikan tekanan psikologis tanpa memberikan solusi.
Termaksud oknum politisi di dalam dan diluar senayan, yang terkesan 'goblok' karena tahu hanya memancing pengguna medsos. Tapi sebenarnya mereka pintar, setidaknya pintar 'ngotaki'. Mereka hanya ingin agar kebun itu dilihat kering, gersang dan tanpa harapan.
Tapi disisi lain, memberikan gambaran, obsesis dan orientasi diri dan kelompoknya hanya untuk satu target, menguasai panggung dan kursi dipanggung. Brutus millenia tidak harus masuk dalam pemerintah.
Saya tidak bicara brutus itu legislator, eksekutif, tokoh, yang menganggap diri tokoh, memaksa jadi tokoh, mantan tokoh hingga mereka diperalat tokoh. Namun apapun itu, brutus-brutus ini berbahaya ketika kita ingin menjaga kehidupan politik demokrasi yang sehat.
Kalau komitmen tokoh hingga partai untuk bangsa, maka menilai proses harus objektif. Sehingga langkah setiap tokoh dan partai harus dinilai objektif. Seharusnya, orientasi tokoh atau partai harus pada cita-cita bangsa dan negara. Bukan orientasi pada jabatan atau kekuasaan. Orientasi partai juga bukan pada jabatan.
Sehingga dalam proses demokrasi, harus objektif menilai. Kritik bukan menjatuhkan, sehingga tidak menjadi obsesi. Kritik dan masukan itu punya nilai berbeda dengan tendesius.
Di negara demokrasi yang memiliki oposisi sekalipun, kontrol terhadap pemerintah, dijalankan dengan orientasi kebaikan. Sehingga saat ada kebijakan baik, didukung. Demikian, jika ada kebijakan salah, tidak dibela pendukung, tapi dikitisi.
Dengan demikian, dalam dinamika demokrasi, kualitas ketokohan seseorang itu terlihat. Termaksud merasa sebagai tokoh oposisi atau tokoh pendukung. Ketokohan dari cara berfikir dan berpendapat.
Jika partai dan tokoh yang berserbarangan selalu melihat dan melempar opini yang tidak objektif. Selalu bicara salah dan benar, dari sudut pandang kepentingannya pribadi atau kelompok. Seakan, tidak ada kebutuhan. Gambaran orientasi pribadimu, kelompokmu atau partai mu bisa dipahami dari yang berjalan selama ini.
Terkadang muncul tokoh publik yang tidak mampu memikul ketokohan yang disematkan. Mungkin karena ketokohannya muncul dari gerakan obsesi dan menompang didalam perjuangan elemen lain. Ketidakmampuannya menimbulkan dia mengambil peran untuk memperkeruh, karena dari sana dia mencoba mencari untung.
Jika orientasimu hanya kekuasaan dan kepentingan pribadimu yang tidak terakomodir, maka sampai kapanpun, kamu akan menjadi brutus baru dinegara ini. Kamu-kamu hanya jadi duri dalam dalam proses pembangunan bangsa.
Selama itu masih terpelihara, itu akan menggerus kekuatan suatu bangsa. Kecuali disenyapkan atau dipinggirkan dari bagian elemen demokrasi. Komitmen elemen, tokoh, partai harus komitmen untuk bangsa. Tanpa itu, siapapun memimpin Indonesia akan begerak mundur. Lontaran batumu harus menambah batu yang memperkuat tiang, bukan merubuhkan tiang-tiang yang dibangun.
Jika ingin belajar cara bertarung yang elegan, simpatik, sportif, belajar lah dari banyak klub sepak bola mancanegara. Jangan belajar dari beberapa klub sepak bola Indonesia. Setidaknya, sampai saat ini demikian.***
Salam Tolak Brutus Kini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar