Endemik Politisi Tanpa (Beban) Moral
---Penulis: Martua P Butarbutar---
Menghabiskan waktu malam, mendengar lagu-lagu di youtube. Sambil menikmati alunan lagu daerah se-Indonesia, khususnya yang menarik, dengan subscriber banyak, saya baca komentar-komentar penikmat musik.
Tidak sedikit dan boleh bisa dibilang, banyak yang bicara persatuan. Bicara penghargaan suku, budaya hingga agama dalam bungkus ke-Indonesia. Hingga saya pada satu titik tertentu mengatakan, dibalik gesekan politik yang kental membawa isu SARA, ada penghargaan terhadap perbedaan di ke-Indonesia-an kita.
Pertanyaan yang muncul, apakah alunan lagu dan musik yang merdu yang bisa mempersatukan? Tentunya, bukan. Alunan musik dan syair lagu itu yang diakui banyak penikmat musik daerah di youtube, tidak mereka pahami, tapi enak didengar. Kemudian mereka bicara, indahnya Indonesia yang beragam suku dan budaya.
Itu bisa muncul, karena mereka tidak bicara soal apa yang membedakan suku dan budaya mereka sebagai penikmat musik. Namun apa yang mereka dengar dan rasakan, membuat hatinya senang dan tenang. Alunan musik dan lagu yang mempersatukan rasa mereka.
Itu muncul karena dalam rasa yang mereka nikmati, tidak dibungkus sentimen suku, agama dan budaya yang berbeda. Jika sentimen itu dibuat untuk membungkus, akan memunculkan sentimen dan gengsi didepan nuraninya.
Kondisi yang berbeda mudah ditemukan saat media sosial dengan bidang berbeda menjadi topik yang dimunculkan. Terutama dibidang politik. Riak percikan kebencian seakan menjadi warna politik kita. Ada banyak hoax dan sentimen yang mengemuka. Seakan bungkus ke-Indonesia-an dalam pribadi mereka terkelupas.
Perbedaan dalam politik itu lumrah dan mungkin bisa dibilang kodrat. Sebagaimana dalam musik daerah berbeda sesai asalnya, namun apa yang muncul belakangan ini, tidak mencerminkan perjuangan membentuk Indonesia.
Memberikan kesan, ada yang mencoba mempertebal atau menguatkan sentimen. Harusnya jangan terlena dan terbiasa menikmati posisi diri sebagai politisi brengsek. Kondisi itu akan membawa dirimu pada kejatuhan yang dalam, pada saatnya.
Dinamika politik di medsos, yang berlangsung, setidaknya dalam dua tahun belakangan ini, seperti menggambarkan, politik itu negatif. Ini jika terus berlangsung, akan membuat kondisi sulit dengan sikap apatis terhadap politik.
Jika zaman dulu, orang yang didorong, dibentuk atau terbentuk menjadi tokoh politik mencoba mengemas pergerakan dengan bungkus persatuan. Tidak demikian dengan saat ini.
Bahkan terkesan saat ini, menyampaikan kebohongan sambil nyinyir, seperti sudah biasa. Menjadi kekhawatiran, kedepan hal seperti ini akan lumrah dalam proses politik kedepan. Bermain dalam sentimen agama dan suku saat ini seperti sudah biasa.
Kondisi ini seperti membuat perilaku politisi yang berjalan, seperti endemik. Endemisme politik, dengan perilaku politisi yang terkesan tanpa tanggungjawab moral membangun. Perilaku politisi sepeti tidak memiliki beban untuk masa depan.
Kondisi ini, sadar atau tidak, seperti gelombang dan ombak tinggi, yang jika tidak diatasi, bisa menghempaskan daratan yang dibangun. Kebebasan yang berjalan dalam alam demokrasi dengan didukung kemajuan teknologi saat ini, seperti memperlihatkan banyak politisi yang perlu belajar menjaga ke-Indonesia-an kita.
Banyak politisi harus belajar kepada tokoh agama atau alim ulama yang sesungguhnya. Memperbanyak membaca buku sejarah terbentuk dan perjuangan, tidak hanya pra Indonesia merdeka, namun juga pasca merdeka.
Memahami, bagaimana saat perbedaan pandangan bisa dijadikan sebagai proses pendewasaan politik. Perbedaan pandangan dan pendapat, berorientasi pada upaya mencari hal terbaik. Kondisi yang berbeda terjadi dengan saat ini.
Orientasi kekuasaan yang kuat, dibangun dengan mempertebal sentimen di masyarakat. Sehingga, upaya apapun termaksud seperti membiasakan mengeluarkan pernyataan, untuk mempertebal sentimen terus dilakukan oknum politisi.
Ketika muncul di medsos dan di televisi atau media massa, walau lontaran pernyataan itu terkesan tidak mendewasakan masyarakat di politik, tetap dibanggakan. Protes hingga makian sebagai gambaran ketidaksetujuan hingga gambaran kebencian yang diperlihatkan penggunaan medsos terhadap dirinya, seperti memicu semangatnya.
Protes dan kebencian yang ditumpahkan pengguna medsos atas dirinya, seperti bumbu pemanis meraih ketenaran dengan cara negatif. Seakan memberikan gambaran, dalam politik itu, yang penting tenar. Soal cara meraihnya, seperti tidak punya beban dan rasa bersalah.
Tidak merasa bersalah dan tidak punya tanggungjawab moral, menjadi penyumbang untuk merusak cara berfikir sebagian masyarakat. Seakan, kepentingan menjadi ujung tombak dan tidak ada beban moral dalam proses politik yang berjalan.
Penting disadari, kedewasaan berpolitik tidak sekedar menerima hasil, kalah atau menang. Namun kedewasaan berpolitik, lebih pada bagaimana menjalani proses politik. Pimpinan politik di lembaga politik harus menyadari ini dengan langkah yang tepat menyikapi.
Sehingga, cara berfikir orang atau kadernya, yang mempengaruhi cara berfikir masyarakat, tidak berdampak negatif. Sehingga demokrasi kita tidak mundur, namun maju.
Sadarilah, lembaga politik hadir bukan hanya untuk bicara kalah dan menang. Namun bagaimana memainkan peran dalam proses politik itu, dalam membangun kader politik yang matang dari pemikiran dan tindakan, dengan orientasi, membangun bangsa.
Parpol membangun pondasi hingga dinding politik Indonesia kuat, sehingga kesatuan bangsa tidak tercerai berai. Parpol harus berani mengeluarkan dari rel, mereka yang menabur dan memupuk bibit ancaman bagi keutuhan bangsa.
Jangan biarkan anak-anak muda kedepan menjadi APOLITIS karena perilaku politik elite saat ini. Jangan berikan gambaran politik itu, negatif dan ancaman. Namun tunjukkan jika politik itu menjadi salah satu cara untuk mendukung pembangunan KARAKTER bangsa.
Media massa juga seharusnya memiliki kebijakan untuk menyaring narasumber. Tidak seharusnya memberikan tempat bagi narasumber yang tidak mencerminkan komitmen dalam membangun dinamika politik pada arah positif. Politisi kacangan jangan dipaksa dikemas untuk mentega. Jangan biarkan gangguan mental politisi merusak arti demokrasi politik Indonesia. Biarkan nurani kita menggiring langkah kita, mewujudkan Indonesia Raya yang sejahtera, dinamis dan maju.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar